Kamus Oxford menjadikan post-truth sebagai “Word of the Year” tahun 2016. Berdasarkan keterangan editornya, jumlah penggunaan istilah tersebut di tahun 2016 meningkat 2000 persen bila dibandingkan 2015. Sebagian besar penggunaan istilah post-truth merujuk pada dua momen politik paling berpengaruh di tahun 2016: keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat.
Istilah post-truth menurut penjelasan Kamus Oxford digunakan pertama kali tahun 1992. Istilah itu diungkapkan oleh Steve Tesich di majalah The Nation ketika merefleksikan kasus Perang Teluk dan kasus Iran yang terjadi di periode tersebut. Tesich menggaris
bawahi bahwa “kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan bahwa kita ingin hidup di dunia post-truth.
Istilah tersebut sendiri sebenarnya sudah dipakai sebelum 1992, namun dalam pengertian yang sedikit berbeda dan tidak berimplikasi pada makna kebenaran yang menjadi tidak relevan. Sementara itu Ralph Keyes dalam bukunya The Post-truth Era (2004) dan comedian Stephen Colber mempopulerkan istilah yang berhubungan dengan post-truth yaitu truthiness yang kurang lebih sebagai sesuatu yang seolah-olah benar, meski tidak benar sama sekali.
Pembenaran satu pihak serta klaim kebenaran membawa narasi intelektual kita melemah, keadaan Negara kita beberapa tahun terakhir menjadi kata Post-Truth menjadi makna yang sangat universal sehingga daya literasi Bangsa terkikis oleh kekejaman kejahatan pembenaran sepihak seperti ini.
Panggung intelektual dilemahkan serta di lumpuhkan akibat arus pembohongan yang dibenarkan merajalela di angkasa melewati jaringan internet.
Telah banyak kasus yang minimpa Indonesia beberapa tahun terakhir sampai sekarang seakan Masyarakat Indonesia menikmati hal itu dan sudah mulai terpecah belah, seakan dogma sentimen agama menjadi mengerikan dibawanya iringan kekejaman antar golongan sehingga pendapat bebas tidak bisa lagi di utarakan, kebebebasan ekspresi hanya utopia di padang pasir ke-kakuan pihak tertentu membawa kita tergiring opini dan menjauhkan dari kekayaan intelektual.
Reading comprehensif
Membaca secara keseluruhan adalah makna terbesar dari literasi itu sendiri sehingga filter berita bohong akan tersaring dan musna secara tersendiri, membaca dengan sesaat dan menyesatkan akan merusak nalar intelktual, di media sosial sudah banyak beredar info hoax dan pembenaran sepihak lainya. Tanpa adanya saringan literasi yang tepat maka konsumsi masyarakat adalah kebohongan yang terencana dan terstruktur maka masyarakat kita akan merasa kenyang dan akan menambah terus asupan berita hoax seperti itu. Ditambah reading comprehensif yang tidak punya saringan menghasilkan nalar kritis yang mati sehingga membabi butanya serangan isu SARA serta kebohongan publik yang menjadi konsumsi pembenaran akan terus merajalela. Makanya nalar kritis di kolaborasikan dengan membaca secara keseluruhan akan menghasilkan nilai ilmu yang berguna serta bermanfaat. Takaran ilmu yang positif akan membawa dampak sejuk di seluruh jaringan internet, konsumsi masyrakat akan tersaring rapi dan berita fakta dan benar akan bertaburam dimana-mana kesejukan inilah yang dinanti di zaman di mana setiap orang nampaknya mudah berbuat bohong dan dibenarkan di berbagai pihak.
Salam literasi,
Salam lestasi.
Al bawi (pegiat Teaching and Trip)
Komentar
Posting Komentar