KEGELISAHAAN EKOFEMINIS DENGAN PASAR



“estetika musnah,etika perjuangkan”
                Dalam situasi revolusi industri (1750-1850)—dimana mesin-mesin untuk memproduksi barang-barang secara massal mulai ditemukan dan digunakan—mereka yang mapan secara modal kemudian membeli mesin-mesin produksi itu untuk mendirikan perusahaan. Sejarah kemudian disibukkan dengan segelintir orang kaya baru yang mendirikan pabrik dan mempekerjakan buruh secara massal. Untuk memaksimalkan produksinya, para pemilik modal membeli tanah-tanah tuan tanah feodal, petani, dan atau petani-penggarap, baik untuk mendapatkan lahan untuk produksi barang baku dan pendirian industri maupun untuk mendapatkan tenaga kerja, baik dengan cara paksa maupun tidak.
Secara ekonomi, orang boleh saja berargumen bahwa kapitalisme telah membuka kesempatan lapangan  pekerjaan yang luas karena kebebasan melakukan aktivitas ekonomi. Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa kapitalisme melahirkan dampak kebudayaan yang begitu serius. 
Akumulasi kapital dengan cara mengeksploitasi buruh menyebabkan buruh teralienasi dari tiga hal. Pertama, dari kreatifitasnya sebagai manusia menjadi—katakanlah—„robot industri‟. Kedua, dari hasil pekerjaannya karena mereka juga harus membeli produk hasil pekerjannya. Ketiga, dari relasi sosialnya karena hampir seluruh hidupnya hanya untuk pabrik.
Dampak berikutnya, Surplus kapital dan produk membuat para kapitalis memaksa negara untuk menghilangkan sekat-sekat atau hambatan perdagangan. Sebab, akan dikemanakan surplus produksi jika tidak dipasarkan ke negara lain? Keadaan ini kemudian membuat kapitalisme sudah melebarkan jangkauan eksploitasinya. Ekslpoitasi buruh memang lebih ringan, namun korban eksploitasi berikutnya adalah konsumen. Karl Marx menyebut ini sebagai fetitisme: semacam stimulus alam bawah sadar yang membuat orang merasa penting untuk mengkonsumsi sebuah produk. Meski pola ini sudah dijalankan sejak awal kamunculan industri, namun kecanggihan teknologi dan informasi membuat fetitisme menjadi lebih massif. Muncullah kemudian komodifikasi hal-hal yang sebelumnya tidak dikomodifikasi karena minat dan selera massa bisa dibentuk melalui propaganda iklan. Inilah kapitalisme lanjut era postmodern. Dampaknya tentu saja adalah destruksi kebudayaan yang serius: konsumerisme. Prinsipnya, “aku belanja, maka aku ada”.
***
                Pada mulanya punggawa feminisme memiliki sedikit prasangka terhadap ekofeminisme itu sendiri. Sebagian besar pemikir feminis yang beranggapan bahwa opresi disebabkan oleh beban beban reproduksi berpikir bahwa ekofeminisme adalah suatu gerakan menfemininkan perempuan. ekofeminisme dianggap menyetujui status quo yang menyatakan bahwa perempuanlah yang bertanggung jawab atas segala proses ekologis seperti produksi, reproduksi, dan prokreasi. Hal ini justru semakin mengukuhkan perempuan sebagai subjek subordinat dan lemah. Pemahaman ini sangat berbahaya, karena pemahaman ini menjadikan gerakan feminisme yang mulanya berusaha melepaskan perempuan dari kata ‘kodrat’, menjadi ahistoris.
Hingga akhirnya empat tahun kemudian Eabonne menerbitkan karyanya yang lain berjudul Écologie, féminisme : révolution ou mutation.  Dalam karya ini Eabonne mengungkapkan perempuan dan alam berdiri bersama sebagai subjek yang tersurobdinat. Keberpihakan perempuan terhadap alam merupakan suatu bentuk gerakan feminisme itu sendiri. Perempuan dan alam bertemu bukan atas kesadaran akan kesamaan kodrat, namun perempuan dan alam bertemu atas kesadaran penindasan yang dilakukan oleh para subjek dominan. Perempuan dan alam harus dilepaskan dari beban dan tanggung jawab akan keseimbangan ekologis, produksi, reproduksi dan prokreasi. Lebih dari itu tanggung jawab tersebut harus ditanggung bersama oleh seluruh semesta.
***
FASHION,EKOLOGI DAN KEBODOHAN
Campaign tentang ekologi secara ranah akar rumput menjadi semakin diminati orang-orang mengaku akan keberpihakan akan nasib para anti-kapitalis dan pro-lingkungan, bicara soal kapitalis dan lingkungan itu sudah pasti semuanya bertabrakan,mulai dari buruh-buruh yang tidak pernah berhenti bekerja bahkan sampai menginggal dunia,di India ada sekitar 14.000 orang pada tahun 2016 bunuh diri karena terlilit hutang dan di Punjab ada naamnay cancer train yang setiap harinya membawa 100 orang buruh per harinya karena kangker untuk dibawa kerumah sakit karena pabrik tersebut membuat kapas untuk keperluan rumah yang sedang kita nikmati saat ini,ya betul bantal,kasur,guling dll yang sangat nikmat terdapat buruh yang siap meninggal,tentu bicara kapitalis dan lingkungan selalu bersinggungan.
Ada hal menarik dewasa ini banyak saat ini aktivis literasi,aktivis mahasiswa,aktivis lingkungan yang mulai kebablasan dengan campaign tentang penyelamatan lingkungan, trend campaign saat ini adalah menjualkan berbagai macam aseksoris bahkan sampai ke pembuatan baju,perlu kita ketahui setiap pembuaatan baju ada 10.000 liter air di campur zat kimia setiap pembuatan baju dan kali saja ada berapa puluh pembuatan baju di setiap daerah di Indonesia,10.000 liter itu cukup memberi anak-anak di Afrika yang mereka sangat susah mendapat akses air bersih,perlu kiranya aktivis lingkungan untuk tidak mengkampanyekan sesuatu dengan fashion, kalau liat anak-anak zaman sekarang para aktivis lingkungna tersebut seakan mencemooh mereka dengan fashion yang mereka pakai, harusnya kita yang menyadarkan dan jangan sampai kita terbawa suasana fashion saat ini dengan brend ternama,pernah ga kita berfikir bagaiaman buruh di sebuah pabrik menjahit baju yang ternama,kemudian limbha perwarna yang merusak air,terus folusi udara yang terus meningkat,buruh secara tidak sadar terus menghirup gas beracun yang terkandung dalam pewarna pakaian? Ini menjadi kegelisahan yang bagi segelintir orang hanya biasa saja.  Fenomena “Panjat Sosial” seakan membius para cendikia dan semua aktivis, trend fashion saat ini di pengaruhi oleh bagaiaman harkat martabat dia bisa naik dengan dia mengikuti kegiatan yang berbau literasi,kemudian mengkampanyekan pro literasi,pro lingkungan dan membeci kontra-revolusi namun dibalik semua fenomena panajt sosial tersebut ada nilai kapitalis yang terselubung bahkan dalam konteks fashion dan cara mereka untuk mengkampanyekanya.

Perlu gerakan secara vertical maupun horizontal kiranya untuk mengembangkan sebuah campaign yang memang pro-lingkungan dan memang tidak merusak lingkungan.itulah kebodoahan kita semua,penulis menggunakan kata bodoh untuk sama-sama merfleksikan diri bagaimana aktivis literasi,aktivis mahasiswa,aktivsi pemuda,aktivsi lingkungan memang bisa mencerdaskan dan tercedaskan



                                                                                                                                          Al bawi

Komentar